NaikMotor – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) akan memperluas pembatasan sepeda motor melalui jalan protokol Ibukota. Tentu peraturan itu akan menimbulkan berbagai reaksi termasuk dari Wijaya Kusuma Subroto, aktivis motoris soal perluasan pembatasan sepeda motor.
Seperti diketahui, aturan perluasan pembatasan sepeda motor dilarang melintas di Jalan Jenderal Sudirman akan diawali dengan sosialisasi yang akan berakhir 11 September 2017. Selanjutnya, dilakukan uji coba perluasan pembatasan sepeda motor di kawasan jalan tersebut hingga 10 Oktober 2017, mulai pukul 06.00-23.00 WIB.
Menurut Wijaya Kusuma, revitalisasi transportasi dan rekayasa penyelesaian kemacetan di Jakarta adalah sangat mutlak diimplementasikan saat ini. Perlu pendekatan seperti mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi dan peningkatan etika, disiplin lalu lintas di jalan raya, dan perbaikan layanan angkutan umum itu sendiri.
” Memberikan layanan angkutan yang baik akan mendorong para pengguna kendaraan pribadi berpindah ke angkutan umum. Kenapa orang menggunakan sepeda motor, karena cepat dan murah,” kata aktivis motoris itu. Walaupun kepanasan tetaplah motor jadi pilihan.
Mulai 11 September 2017, sepeda motor akan dilarang melintas di Sudirman menyusul di Kuningan yang makin membatasai gerak para pemotor di jalan protokol ibukota. ” Sungguh keputusan yang aneh dan patut digugat. Kenapa tidak mobil saja yang dilarang dan mengapa hanya motor, apakah karena motor digunakan oleh kalangan masyrakat bawah maka motor dilarang. Mobil mempunyai dimensi yang lebih besar, coba kita perhatikan pengguna mobil rata rata tidak lebih dari 2 penumpang namun menggunakan ruang di jalanan 6 sampai 7 kali lebih besar dari motor,” beber Jaya, panggilannya.
Kalau transportasi sudah memadai masyarakat suka kok naik kendaraan umum, masalahnya ada tidak kendaraan umum yang murah, mudah dan cepat? Jawabannya tidak ada, busway yang ada saja sekarang berjejalan seperti dendeng. Tidak ada sistem informasi rute cerdas. Sistem informasi rute cerdas ini diperlukan agar masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi tentang layanan rute, estimasi tiba dan berangkat bus, biaya dan gerai yang menyediakan tiket, baik itu tiket sekali pakai, langganan, maupun terusan.
Pemerintah pusat pun perlu memikirkan untuk persyaratan pembelian kendaraan dan membatasi jumlah kendaraan yang beredar. Di Singapura maka setiap pemohon kendaraan bermotor harus punya lot parkir sendiri baik di apartemen atau di rumahnya. Lha kalau di Jakarta orang bisa beli 3 -4 mobil dan parkir sembarangan di jalan umum.
Pada event GIIAS 2017 saja penjualan kendaraan bernilai hingga Rp 6,7 Trilliun dengan jumlah kendaraan 21.000 unit. Lha gimana tidak tambah macet Jakarta. Bereskan ini dulu, kemudian bereskan transportasi umum supaya masyarakat mau berpindah ke transportasi umum. Di negara Asia hanya di Indonesia saja yang ada peraturan seperti ini. Di Malaysia, motor bahkan bisa masuk tol, demikian pula di Singapura. Aturan (pembatasan) ini diterbitkan seolah-olah bentuk arogansi Dishub/Pemprov DKI Jakarta yang semena-mena menerapkan aturan karena frustasi akan kemacetan.
Pemprov DKI seharusnya menghitung antara ruas jalan dan jumlah kendaraan yang beredar berimbang sehingga pemborosan energi akibat kemacetan tidak terjadi. Cara yang dilakukan pemerintah Singapura dengan menerapkan kuota kendaraan (vehicle quota system) yang mengenakan pajak tinggi untuk setiap penambahan kendaraan baru bisa dijadikan contoh.
Di Singapura tidak mudah untuk membeli mobil, perlu ikut tender untuk mendapatkan hak kepemilikan kendaraan (certificate of entitlement); makin banyak mobil beredar maka makin mahal pula pajaknya. Rasanya pemerintah harus membuat kebijakan makro transportasi yang pro kepada masyarakat umum.
Sebagai perbandingan di Singapura, layanan bus sebanyak 6.000 unit dengan pelbagai layanan seperti layanan jarak jauh antarwilayah (townlink), kemudian ada pula yang melayani transportasi malam (night rider dan night owl), layanan lingkungan (feeder) dan layanan premium. Rasanya kita perlu berkaca dan belajar mengenai tata kelola transportasi Singapura ini yang dikelola oleh Land Transportation Authority (Dishub).
Tentunya disesuaikan dengan keadaan layanan transportasi Jakarta. Sinergi dengan MRT, monorel, ataupun KRL Jabodetabek juga perlu dilakukan, angkutan lingkungan semisal angkot atau Metromini harus dibuat nyaman dengan tiket terusan menggunakan e-money. Sehingga transportasi antarmoda tidak lagi menjadi hambatan. (Afid/nm)
Wijaya Kusuma Subroto
Aktivis Motoris