Asep menjelaskan produk knalpot lokal atau aftermatket banyak dikesankan sebagai knalpot brong yang tidak standar dan menyebabkan polusi suara. “Knalpot yang hanya memakai hider tanpa silencer, itu yang disebut brong yang sering memekakan telinga,” ucap Asep.
Pengendara kendaraan bermotor yang menggunakan knalpot brong tidak sesuai standar SNI dapat dikenai sanksi. Yang sesuai dengan Pasal 285 jo ayat (1) jo Pasal 106 ayat (3) dan Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3), dan denda maksimal Rp 250 ribu. Karena kebisingan suaranya dapat mengganggu konsentrasi pengendara lainnya, sehingga berpotensi menimbulkan kecelakaan lalu lintas.
Sayangnya, Asep menjelaskan razia yang digelar untuk menertibkan penggunaan knalpot brong belakangan ini justru berdampak kepada UMKM produsen knalpot. “Kami punya 20 brand serta 15 ribu karyawan yang saat ini sudah dirumahkan,” kata Asep.
Hal itu karena, ada kesan yang ditimbulkan bahwa knalpot produksi mereka merupakan knalpot brong karena tidak sesuai standar yang diberlakukan pemerintah.
Padahal, pihaknya menjamin, knalpot yang diproduksi anggota AKSI sudah memenuhi regulasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Yang bertentang ambang batas kebisingan dan dapat dijadikan sebagai acuan bagi industri untuk memproduksi knalpot.
Asep berharap berbagai instansi terkait seperti Kementerian Perindustrian (Kemenperin), KLHK, Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Serta pihak Kepolisian juga dapat duduk bersama untuk merumuskan ketentuan knalpot yang sesuai dengan standar atau ber-SNI.
“Saya berharap segera ada SNI untuk knalpot, sehingga UMKM industri knalpot dapat kembali seperti semula bahkan bisa lebih meningkatkan omzet,” kata Asep.
MenkopUKM Teten Masduki menanggapi bahwa pelarangan knalpot aftermarket ini harus mempertimbangkan banyak hal termasuk kelangsungan industri UMKM knalpot. Ia mencermati sejumlah kasus penggunaan knalpot yang mengganggu kenyamanan masyarakat.